LASER BERBASIS SEMIKONDUKTOR
TEKNOLOGI LASER
BERBASIS SEMIKONDUKTOR ORGANIK
Penemuan sumber cahaya
merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Pada
zaman dahulu, terdapat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa manusia dapat
melihat suatu objek, yaitu (1) Ptolemy dan Euclid menjelaskan bahwa penglihatan
manusia terjadi akibat mata kita memancarkan berkas cahaya; (2) Aristoteles
menjelaskan bahwa penglihatan manusia terjadi akibat mata kita menerima suatu
bentuk fisis dari objek yang kita lihat. Akan tetapi, pada tahun 1011, dalam
bukunya yang berjudul Book of Optics, Al-Hasan Ibn Haytam
(Al-Hazen) mengemukakan sebuah teori baru yang menjelaskan bahwa berkas cahaya
dari suatu sumber tertentu (yang tidak berasal dari objek yang sedang kita
lihat) dipantulkan oleh objek tersebut. Selanjutnya, teori inilah yang
mendasari prinsip optika modern yang menjelaskan mengenai prinsip kerja lensa,
cermin, kamera, dan alat optik lainnya yang akan kita bahas lebih lanjut
perkembangannya hingga teknologi laser berbasis semikonduktor organik dalam
artikel ini.
Perjalanan sumber
cahaya yang digunakan umat manusia, mulai dari sinar matahari, cahaya lilin,
cahaya buatan dari percikan listrik, cahaya dari lampu pijar, dan akhirnya
laser.
Sudah sekitar delapan
abad terakhir ini manusia mencoba memanipulasi cahaya dari berbagai sumber daya
alam dan mengembangkan banyak elemen, perlengkapan, dan sistem optik yang
memungkinkan kita melihat bintang-bintang, planet-planet dan juga untuk
mengamati mikroorganisme. Walaupun demikian, ide mengenai pembuatan sumber
cahaya buatan baru muncul pada pertengahan abad ke-19.
Pada tahun 1802, Sir
Humpry Davy telah mendemonstrasikan lampu pijar pertama dengan mengalirkan arus
melalui sebuah keping platina tipis, tetapi penelitian di bidang ini berjalan
lambat sebelum dirumuskannya teori cahaya sebagai gelombang elektromagnet.
Kemudian, lampu pijar yang ditemukan Edison menjadi sumber cahaya buatan yang
telah berhasil mengubah arah peradaban manusia, walaupun sekarang sudah jarang
digunakan karena faktor efisiensi. Sumber cahaya seperti ini bekerja dengan
prinsip emisi termionika, yaitu sebuah filamen dipanaskan dengan mengalirkan
arus listrik kemudian ia dapat memancarkan radiasi, baik itu radiasi tampak
maupun inframerah, bergantung pada material filamennya.
Secara fisika, pada
pertengahan abad ke-19, Michael Faraday menyatakan bahwa cahaya itu tidak lain
hanyalah suatu bentuk dari garis-garis getaran listrik dan magnet. Akan tetapi,
15 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1861, James Clerk Maxwell merumuskan
bahwa fenomena kelistrikan dan kemagnetan merupakan suatu kesatuan dalam teori
elektromagnetisme yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penelitian ini
kemudian dilanjutkan oleh Max Planck (1858 – 1947) yang berfokus pada
permasalahan radiasi benda hitam dan hubungan antara frekuensi radiasi dan
temperatur dari objek yang memancarkan cahaya. Dalam teorinya, Planck
menyatakan bahwa gelombang elektromagnetik dapat dipancarkan dalam bentuk
kuanta (kelompok) yang disebut kuanta foton. Hingga kemudian pada
tahun 1905, Albert Einstein menjelaskan fenomena kuantisasi cahaya ini dalam
publikasinya tentang efek fotolistrik yang menyatakan bahwa
cahaya adalah suatu gelombang, tetapi juga suatu partikel, bergantung pada
sudut pandang pengamat. Teori ini yang kemudian menjadi teori utama untuk
menjelaskan interaksi cahaya dan materi. Atas penemuan inilah Albert Einstein
dianugerahi hadiah nobel pada tahun 1921.
Selain mengemukakan teori efek fotolistrik, Einstein juga mengusulkan
keberadaan tiga proses mendasar di dalam interaksi cahaya dan materi: (1) Absorpsi (penyerapan
cahaya); (2) Emisi (pemancaran cahaya) spontan; (3) Emisi
terstimulasi. Dua proses yang pertama merupakan konsekuensi dari hukum
kekekalan energi dari teori kuantisasi yang digagas oleh Planck. Akan tetapi,
adanya proses emisi terstimulasi akan menyederhanakan penjelasan atas spektrum
radiasi benda hitam. Hal ini disebabkan karena dalam proses emisi terstimulasi
ini sebuah atom yang tereksitasi, selain dapat meluruh energinya akibat emisi
spontan juga dapat meluruh apabila berinteraksi dengan sebuah foton dengan
memancarkan kloningnya (kembarannya). Sehingga proses emisi terstimulasi ini
dapat dipandang sebagai proses absorpsi negatif oleh material yang berdampak
pada kemungkinan untuk membangkitkan dan memperkuat suatu radiasi berenergi
yang bersifat koheren dalam perambatannya. Mekanisme inilah yang kemudian
menjadi dasar fisis dalam pengembangan sinar LASER (Light Amplification by
Stimulated Emission of Radiation) pada abad ke-20 oleh Gordon Gould.
Gambar kiri: Proses absorpsi dan emisi cahaya pada material. Cahaya yang
diabsorbsi akan membuat electron di material tersebut tereksitasi. Kemudian,
pada saat electron tersebut kembali ke keadaan dasar, cahaya akan diemisikan
dari material tersebut berupa fluoresensi. Gambar kanan: Proses terjadinya
emisi terstimulasi yang merupakan prinsip dasar laser. Pada saat electron
material tersebut tereksitasi, terjadi interaksi antara electron tereksitasi
tersebut dengan foton cahaya lain, sehingga menstimulasi proses kembalinya
electron ke keadaan dasar lebih cepat. Akibatnya, diemisikanlah foton cahaya
yang menyerupai foton cahaya yang berinteraksi tersebut.
Berbagai jenis laser
yang memancarkan cahaya dengan berbagai macam panjang gelombang. Saat ini,
laser banyak digunakan pada hal-hal yang berhubungan dengan keseharian kita.
Selain itu, laser juga menjadi salah satu alat utama para ilmuwan untuk
mempelajari sifat-sifat baru material.
Pada tahun 1954, Charles H.
Townes mendemonstrasikan MASER (Microwave Amplification by Stimulated
Emission of Radiation) dengan memanfaatkan inversi populasi antara dua
level molekuler dari amonia untuk memperkuat radiasi pada rentang panjang
gelombang mikro yaitu sekitar 1,25 cm. Beberapa tahun kemudian, seorang
fisikawan bernama Theodore H. Maiman berhasil menyelesaikan pembuatan laser
untuk pertama kalinya dengan cara memompa sebuah kristal rubi (Al2O3) secara optik
yang menghasilkan radiasi pada panjang gelombang 694 nm. Penemuan ini diikuti
oleh penemuan lainnya seperti laser berbasis gas HeNe oleh Javan-Bennet-Herriot
(tahun 1960); diode laser semikonduktor oleh Robert Hall (tahun 1962) dengan
material GaAs pada rentang inframerah; dan diode laser pada rentang cahaya
tampak oleh Nick Holonyak (tahun 1962). Sebagai salah satu sumber cahaya, laser
saat ini telah menjadi sesuatu yang umum ditemukan dalam kehidupan kita
sehari-hari seperti CD/DVD, printer, scanner, perangkat komunikasi
optik, peralatan medis, bahkan beberapa perlengkapan di supermarket.
Gambar di atas: Molekul organik rubrene dan penampakan kristal tunggal
rubrene, yaitu bahan semikonduktor organik, yang bersifat seperti plastik.
Gambar bawah: Masa kini dan masa depan devais elektronika berbasiskan bahan
organik, kulit tangan buatan, sumber cahaya baru, karpet pemancar listrik, dan
mungkin juga laser. Sumber gambar: T. Sekitani, et al. Nature Mater. 6, 413
(2007).
Gambar atas: Prinsip kerja organic light emitting diode (OLED) (sumber: Osram). Gambar bawah: Contoh OLED untuk aplikasi lampu (sumber: Philips), dan juga layar monitor pada handphone Samsung Galaxy.
Salah satu material laser yang sedang dikembangkan saat ini ialah laser
berbasis semikonduktor organik (Organic Semiconductor Laser, OSL).
Karena material ini memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi (seperti
plastik), kombinasi bentuk yang bervariasi, dan kemudahan proses manufaktur.
Akan tetapi, hingga saat ini OSL yang dipompa secara elektrik masih belum
terealisasi dengan kata lain belum ada hasil yang benar-benar bisa memenuhi
kriteria suatu laser. Kriteria-kriteria laser yang dimaksud disini antara lain
seperti besarnya arus dan kerapatan eksiton (pasanganelectron-hole) yang
cukup untuk menginduksi inversi populasi, penajaman spektrum yang bergantung
pada rapat arus, serta batas ambang yang jelas yang menunjukkan peralihan dari
proses emisi cahaya biasa menjadi cahaya laser. Beberapa alasan yang
menyebabkan kriteria-kriteria tersebut belum terpenuhi antara lain: (1)
rendahnya mobilitas pembawa muatan hole dan elektron (kurang
dari 10-3 cm V-1 s-1, misalnya untuk silikon ~500 cm V-1 s-1), sehingga
sangat sulit untuk menginjeksikan arus listrik yang besar ke dalam bahan
organik tersebut; (2) mudahnya eksiton dan foton untuk menghilang yang
disebabkan karena kelemahan struktur devais Organic Light Emitting
Diode (OLED), walaupun untuk aplikasi lampu maupun display sangatlah
baik. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan-pendekatan baru yang dapat
memberikan berbagai keuntungan, baik dari sisi optik maupun elektrik.
Komentar
Posting Komentar